Friday, October 26, 2007

Computer

A programmable machine. The two principal characteristics of a computer are:
It responds to a specific set of instructions in a well-defined manner.
It can execute a prerecorded list of instructions (a program).
Modern computers are electronic and digital. The actual machinery -- wires, transistors, and circuits -- is called hardware; the instructions and data are called software.
All general-purpose computers require the following hardware components:
memory : Enables a computer to store, at least temporarily, data and programs.
mass storage device : Allows a computer to permanently retain large amounts of data. Common mass storage devices include disk drives and tape drives.
input device : Usually a keyboard and mouse, the input device is the conduit through which data and instructions enter a computer.
output device : A display screen, printer, or other device that lets you see what the computer has accomplished.
central processing unit (CPU): The heart of the computer, this is the component that actually executes instructions.
In addition to these components, many others make it possible for the basic components to work together efficiently. For example, every computer requires a bus that transmits data from one part of the computer to another.
Computers can be generally classified by size and power as follows, though there is considerable overlap:
personal computer : A small, single-user computer based on a microprocessor. In addition to the microprocessor, a personal computer has a keyboard for entering data, a monitor for displaying information, and a storage device for saving data.
workstation : A powerful, single-user computer. A workstation is like a personal computer, but it has a more powerful microprocessor and a higher-quality monitor.
minicomputer : A multi-user computer capable of supporting from 10 to hundreds of users simultaneously.
mainframe : A powerful multi-user computer capable of supporting many hundreds or thousands of users simultaneously.
supercomputer : An extremely fast computer that can perform hundreds of millions of instructions per second.
E-mail this definition to a colleague
a.bs:link,a.bs:active,a.bs:visited { font-family: verdana; font-size: 10px; line-height:12px; text-decoration: none; }
.bstext { font-family: verdana; font-size: 10px; line-height:12px; text-decoration: none; }

Sponsored listings
Find Computers - Open a TigerDirect Account - Browse hundreds of Desktop Computers. Get special pricing & a corporate rep. Open a TigerDirect Business Account!
Computers: General Digital Corporation - Single board computer with 10.4" to 15.1" Flat Panel LCD screens. Many configurations available or will build to suit. Rugged, all-metal construction.
Computer Security - Our computer security software super-deletes files and directories. Leave no traces behind. Download now.

Computer

A programmable machine. The two principal characteristics of a computer are:
It responds to a specific set of instructions in a well-defined manner.
It can execute a prerecorded list of instructions (a program).
Modern computers are electronic and digital. The actual machinery -- wires, transistors, and circuits -- is called hardware; the instructions and data are called software.
All general-purpose computers require the following hardware components:
memory : Enables a computer to store, at least temporarily, data and programs.
mass storage device : Allows a computer to permanently retain large amounts of data. Common mass storage devices include disk drives and tape drives.
input device : Usually a keyboard and mouse, the input device is the conduit through which data and instructions enter a computer.
output device : A display screen, printer, or other device that lets you see what the computer has accomplished.
central processing unit (CPU): The heart of the computer, this is the component that actually executes instructions.
In addition to these components, many others make it possible for the basic components to work together efficiently. For example, every computer requires a bus that transmits data from one part of the computer to another.
Computers can be generally classified by size and power as follows, though there is considerable overlap:
personal computer : A small, single-user computer based on a microprocessor. In addition to the microprocessor, a personal computer has a keyboard for entering data, a monitor for displaying information, and a storage device for saving data.
workstation : A powerful, single-user computer. A workstation is like a personal computer, but it has a more powerful microprocessor and a higher-quality monitor.
minicomputer : A multi-user computer capable of supporting from 10 to hundreds of users simultaneously.
mainframe : A powerful multi-user computer capable of supporting many hundreds or thousands of users simultaneously.
supercomputer : An extremely fast computer that can perform hundreds of millions of instructions per second.
E-mail this definition to a colleague
a.bs:link,a.bs:active,a.bs:visited { font-family: verdana; font-size: 10px; line-height:12px; text-decoration: none; }
.bstext { font-family: verdana; font-size: 10px; line-height:12px; text-decoration: none; }

Sponsored listings
Find Computers - Open a TigerDirect Account - Browse hundreds of Desktop Computers. Get special pricing & a corporate rep. Open a TigerDirect Business Account!
Computers: General Digital Corporation - Single board computer with 10.4" to 15.1" Flat Panel LCD screens. Many configurations available or will build to suit. Rugged, all-metal construction.
Computer Security - Our computer security software super-deletes files and directories. Leave no traces behind. Download now.

Pendidikan, Perempuan dan Pandangan Masyarakat

Pendidikan

Secara umum, sebagian orangtua di Indonesia sudah mulai sadar akan pentingnya sekolah bagi putra dan putri mereka. Namun apakah sebenarnya tujuan serta harapan para orangtua memberi kesempatan putra dan putrinya bersekolah? Menjadi orang yang mandiri, pandai, berwawasan luas, atau agar kelak bisa memimpin sebuah perusahaan raksasa, bertitel sarjana, mengangkat status orangtua dan keluarga, atau...?
Bagaimana jika sang anak yang telah susah payah disekolahkan telah lulus dengan nilai memuaskan, namun tidak kunjung bekerja atau tidak bekerja sesuai dengan disiplin ilmu atau harapan orangtua? Kemudian bila sang anak adalah perempuan, memilih bekerja di luar kantor, atau murni menjadi ibu rumah tangga, bagaimana reaksi orangtua, juga masyarakat?
Pembicaraan tentang laki-laki dan pendidikan akan lebih jelas rangkaiannya, yaitu bekerja. Hal ini bukan berarti meremehkan dinamika yang terjadi didalamnya, namun konsekuensi itu terlihat lebih dominan dalam masyarakat.

Perempuan

Jumlah perempuan yang telah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi pada masa sekarang, tentu lebih banyak daripada masa 70-80 an. Seiring dengan terbukanya kesempatan itu, terbentang pula harapan dan angan-angan yang mungkin diraih. Sebagian perempuan telah bercita-cita bekerja di kantor dan meniti karir, sebagian tidak ingin terikat oleh ruang dan waktu di belakang meja, sebagian ingin menjadi seorang ibu rumah tangga yang berwawasan luas dalam mendidik anak dan berkeluarga, sebagian lagi tidak memaksakan diri harus ini atau itu tetapi lebih tergantung pada situasi yang ada.
Bagi perempuan yang memilih bekerja setelah sekolah atau mengenyam pendidikan tinggi, maka kemungkinan besar akan mendapat dukungan dari sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa sekolah atau pendidikan adalah untuk mencari pekerjaan. Selain itu pekerjan juga dianggap sebagai pemberi status, seperti yang dikemukakan oleh seorang wanita sebagai berikut: “Walau bermimpi menjadi ibu rumah tangga, saya ragu apakah orang masih memandang saya kalau berhenti bekerja. Pekerjaan memberi status,” kata Deborah, 24editor (Kosmopolitan: 2000; 167).
Sementara bagi wanita yang memilih mendidik anak, keluarga atau bekerja di sektor informal di luar kantor, kemungkinan besar akan mendapat tantangan dari kelompok masyarakat yang menganggap sekolah adalah untuk mencari pekerjaan. Namun akan mendapat dukungan bagi mereka yang berpendapat bahwa ilmu adalah harta yang paling bernilai dan akan semakin bernilai jika diamalkan dalam ruang lingkup yang tak terbatas pada ruang kantor semata.
Ada kalanya seorang wanita benar-benar ingin menjadi ibu rumah tangga seratus persen dengan tujuan dapat lebih berkonsentrasi mengikuti perkembangan anak dengan bekal pendidikan yang dimiliki. Namun keinginan itu seringkali harus berhadapan dengan ‘keinginan’ masyarakat Indonesia secara umum, karena diakui atau tidak, ada perubahan nilai yang terjadi di masyarakat yaitu dari perempuan sebagai pengurus rumah tangga yang tidak memerlukan pendidikan tinggi menjadi perempuan yang (harus) sekolah untuk kelak juga bekerja (di kantor dan terpandang). “Buat apa sekolah susah-susah kalau cuma di rumah mengurus anak?!” Kurang lebih begitulah tanggapan yang akan didengar jika melihat seronag perrempuan bependidikan tinggi yang memilih menjadi ibu rumah tangga.

Perbedaan Persepsi

Gambaran dan fakta yang termuat diatas merupakan fenomena sosial sebagai salah satu dampak dari perubahan dalam masyarakat. Adanya perbedaan persepsi antara sebagian masyarakat (wanita) dan sebagian masyarakat lain (awam) terhadap pendidikan.


Obyek sosial yang sama diasumsikan identik oleh interaktan 1 dan 2 (perempuan berpendidikan dan masyarakat luas atau awam) yaitu mulai dari pemahaman makna dan definisi situasi, pengambilan keputusan sampai akhirnya bertindak. Karena interaksi didefinisikan sebagai action that taken one another into account (Charon:1998).

Model interaksi tersebut menunjukkan pentingnya faktor definisi situasi bagi outcome interaksi sosial, apakah hasilnya konflik atau kerjasama, semuanya tergantung pada definisi situasi, suatu proses pemahaman situasi oleh interaktan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tujuan, perspektif, pengalaman masa lampau dan kehadiran obyek sosial lain (Lesmana: 2001).
Pendidikan yang dipersepsikan sebagai jalan untuk mendapatkan pekerjaan oleh masyarakat awam akan menimbulkan aksi atau tindakan yang mendukung (bekerjasama) dengan perempuan berpendidikan yang juga berpandangan sama. Namun jika bertemu dengan perempuan yang berpandangan bahwa pendidikan merupakan sarana pengembangan dan pembekalan diri dalam kehidupan secara luas yang mungkin akan menampilkan perilaku bekerja pada sektor formal atau informal atau dalam jalur yang lain, keluarga misalnya. Maka perbedaan ini kemungkinan besar akan menimbulkan konflik antar keduanya.
Perbedaan pandangan yang terjadi baik pada masyarakat luas maupun wanita berpendidikan itu sendiri tidak lepas dari latar belakang budaya yang ada. Secara luas, pengembangan suatu ilmu pengetahuan merupakan hal yang mewah dan hanya orang-orang yang mampu secara ekonomilah yang dapat menikmatinya, seperti tertulis dalam Barnett, “.., in many societies the acquisition of knowledge is a privilege of the few who are selected either formally or indirectly by economic or inheritance preferences” (Barnett, H.G; Innovation:The Basis of Cultural Change. New York: McGraw-Hill Book Company Inc.: 1953).
Melihat dari kacamata ini, maka bagi masyarakat yang akhirnya mampu menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi dengan perjuangan keras adalah wajar jika berharap pendidikan tersebut bisa memberikan ‘imbalan’ yang setimpal atau lebih secara ekonomi. Sementara ada kemungkinan sang anak yang telah mengenyam pendidikan tinggi mempunyai pandangan yang berbeda tentang suatu pendidikan, maka gesekan dan konflik pun tak dapat dihindari.

Penutup

Setiap pilihan selalu dihadapkan pada konsekuensi. Dalam masalah diatas, penulis lebih berharap pada masyarakat yang telah mengenyam pendidikan tinggi untuk juga melakukan sosialisasi dan pendidikan masyarakat mengenai arti pendidikan itu sebenarnya. Karena sesungguhnya ilmu merupakan harta yang tidak bisa dicuri. Sehingga untuk ke depan, pilihan apapun yang diambil oleh seorang anak setelah menyelesaikan studinya bukan lagi suatu paksaan dari ‘harapan’ masyarakat semata.

Kontak Dalam Masyarakat Multikultur

Indonesia dikenal luas sebagai bangsa yang terdiri dari sekitar 300 suku bangsa dan masing-masing mempunyai identitas kebudayaan sendiri (Bruner,1972; Koentjaraningrat, 1975, dalam Warnaen, 2001). Banyaknya suku bangsa di Indonesia kini telah bertambah satu yakni dengan diakuinya etnis Tionghoa sebagai salah satu etnis di Indonesia. Mungkin sekian tahun ke depan akan ditambah dengan etnis Arab dan India yang juga cukup banyak tinggal di Indonesia.
Yang menggembirakan adalah pengakuan dan pembauran etnis Tionghoa kini lebih terasa nyata. Coba tengok ajang Indonesian Idol, beberapa peserta terlihat jelas dari etnis ini dan mendapat sambutan yang hangat, lalu, sebut saja deretan artis sinetron; Roger Danuarta, Bertrand Antolin atau Olga Lydia, mereka pun menjadi idola remaja Indonesia.
Fenomena lain yang membanggakan dan selayaknya terus dipacu juga munculnya prestasi anak bangsa dari daerah yang dianggap ‘tertinggal’ yaitu Papua. Memenangkan olimpiade fisika tingkat internasional, lomba karya ilmiah remaja tingkat nasional hingga kiprah remaja Papua dalam Indonesian Idol bisa meningkatkan kebangsaan masyarakat Papua sebagai Indonesia. Mengapa? Setidaknya penghargaan dan sambutan masyarakat dari luar Papua untuk bersedia mengirimkan dukungan melalui short message service (sms), atau pengakuan institusi nasional atas prestasi sekelompok remaja Papua bisa menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia tidak mendiskreditkan Papua.
Akhir bulan Agustus ini juga muncul dua macam iklan dari produk susu kental manis yang menghadirkan kontak dengan ‘kesalahpahaman’ bahasa di antara anak kecil Sunda dan Jawa, juga antara anak kecil Melayu dan Batak. Keheranan gadis kecil Jawa mendengar kalimat “Ini ‘teh’, susu...” atau anak suku Melayu mendengar temannya dari suku Batak menolak bahwa susu yang sedang dibuatnya adalah untuk “Tulang” (paman) memancing bisa senyum penonton iklan tersebut sekaligus ‘mengingatkan’ perbedaan yang memang ada.
Beberapa ilustrasi di atas berpotensi menciptakan harmoni dalam kehidupan sosial di Indonesia. Kontak langsung atau tidak langsung yang terjadi antar kelompok etnis bisa jadi merupakan sesuatu yang tak terelakkan dalam kehidupan ini. Sebab, bagaimanapun, kategori sosial adalah sesuatu yang ada, tidak hanya etnis, masyarakat satu etnis pun bisa berhadapan dalam kategori yang berbeda, agama misalnya. Setiap identitas sosial membawa konsekuensi nilai sendiri-sendiri. Seperti dinyatakan oleh Tajfel (1988) bahwa identitas sosial seseorang adalah suatu pemahaman dan keterikatan secara emosi dan nilai terhadap suatu kelompok yang menjadi acuan. Contoh, menguasai bahasa Indonesia menjadi tuntutan yang wajib sebagai orang Indonesia.
Pertanyaannya adalah, apakah kontak akan selalu menciptakan sentimen positif?

Hipotesis Kontak

Allport (1975/1979, dalam Islam dan Hewstone, 2000) mengajukan hipotesis kontak bahwa kontak dengan orang dari kelompok yang tidak disukai, dalam kodisi yang tepat, dapat menumbuhkan rasa suka, saling menghargai atau setidaknya menurunkan prasangka terhadap kelompok lain.
The contact hypothesis (Alport,1954/1979) proposes that contact with persons from a disliked group, under appropriate conditions, leads to the growth of liking and respect for, or at least to decreased prejudice toward, that out-group. (Islam dan Hewstone,2000,h. 383)
Prasangka merupakan reaksi emosional terhadap outgroup yang dipicu oleh persepsi ingroup. Konsep ini juga tidak bisa dilepaskan dari stereotip, yakni seperangkat penilaian dari kelompok lain dalam hubungannya dengan ingroup dalam situasi terkini (Smith, 1999)
Allport menekankan bahwa tidak ada hubungan yang sederhana di antara kontak dan evaluasi out-group, ia juga menyatakan adanya sekelompok faktor yang relevan dan menciptakan apa yang disebut dengan ‘nature of contact’. Faktor-faktor ini mencakup kuantitas kontak dan kualitas kontak (contohnya status dan aspek peran dalam kontak, suasana atau atsmosfir sosial yang hadir di sekitar kontak itu, dan sebagainya) (Islam dan Hewstone,2000). Perkembangan studi bahkan menambahkan adanya efek potensial positif dari kualitas kontak seperti status equal (yang setingkat), suka rela, keakraban dan kotak yang kooperatif (Amir,1969, dalam Islam dan Hewstone,2000).
Namun ternyata studi juga menunjukkan bahwa kontak tidak terlalu efektif untuk mengubah stereotip negatif atau memperbaiki hubungan antar kelompok yang berkonflik. Salah satu penjelasannya adalah adanya intergroup anxiety (kecemasan substansial terkait dengan hubungan antar kelompok) dan hal ini membuat interaksi menjadi kurang menyenangkan (Islam dan Hewstone, 2000)
Kontak yang menyenangkan antara anggota kelompok berbeda yang tidak saling suka, tidak bisa digeneralisir pada tingkat kelompok, sebab hubungan antar kelompok tidak sesederhana hubungan antar pribadi (Islam dan Hewstone,2000). Studi Wilder (2000) menunjukkan bahwa kontak positif antar anggota kelompok yang berbeda dapat digeneralisir ke tingkat evaluasi kelompok hanya ketika terjadi dengan anggota kelompok yang tipikal.
Contact with a person who appeared to be highly typical of the out-group (i.e., matched several stereotypes of out-group members) led to a more favorable evaluation of the out-group than contact with a less typical member. (Wilder,2000,h.379)
Gaertner, Mann, Murrell dan Dovidio (2000) mengajukan dua strategi untuk mengurangi prasangka di antara dua kelompok yang bertikai: (a) re-kategorisasi, yakni mendorong dua kelompok yang bertikai untuk menganggap diri mereka sebagai satu kelompok; (b) de-kategorisasi, yaitu mendorong kedua kelompok menganggap diri mereka sebagai sekumpulan individu.
Meskipun re-kategorisasi kadang bisa berjalan dalam kondisi terkontrol, strategi ini sering memancing backfire (ledakan) dalam kehidupan sosial di masyarakat. Ini terjadi karena re-kategorisasi dapat mengancam kekhasan atau perbedaan yang ada di antara dua kelompok termasuk juga identitas para anggota kelompok. Karena itu, mungkin akan lebih baik untuk membingkai hubungan antar kelompok itu dengan berusaha memperbaiki sikap dan hubungan antar kelompok yang seimbang (Gaertner, dkk.,2000).

Kontak Antar Etnis di Indonesia

Banyak stereotip positif maupun negatif yang tersebar di masyarakat, contohnya adalah “Orang Ambon suaranya bagus-bagus, orang Cina (Tionghoa) dan Padang itu pintar dagang, orang Jawa itu bicaranya pelan atau halus, orang Batak sifatnya keras” dan lain sebagainya. Seperti dinyatakan oleh Smith (1999) di atas bahwa stereotip ini merupakan penilaian atau taksiran suatu kelompok oleh kelompok lain. Karena itu tidak menggambarkan sifat riil kelompok yang dinilai, maka wajar jika ada orang yang terkejut jika menemukan orang Batak yang lemah lembut.
Stereotip ini juga memicu prasangka antar kelompok, misalnya orang Jawa yang memiliki atasan orang Batak bisa merasa sangat cemas jika berbuat kesalahan meski kecil, karena ia berprasangka bahwa atasannya pasti akan marah besar. Stereotip dan prasangka inilah yang ingin diminimalisasikan oleh Allport dengan hipotesis kontaknya. Namun ternyata ada beberapa kondisi yang harus diperhatikan untuk menciptakan kontak positif.
Ilustrasi di awal tulisan bisa menjadi alat untuk mengurangi dan mengubah stereotip yang berkembang dan mengurangi prasangka. Kehadiran etnis Tionghoa di media elektronik dan cetak secara suka rela dan setara dengan etnis lain akan sangat membantu apresiasi masyarakat Indonesia terhadap etnis itu sendiri. Sekali lagi media massa berperan penting dalam mengubah atau membentuk persepsi masyarakat. Inilah yang disebut oleh Moscovici (1988, dalam Liu dan Lawrence, 2001) sebagai representasi sosial, suatu wacana yang secara dinamis dibagi bersama di masyarakat. Menurut Moscovici, individu-individu dalam masyarakat saling berdialog tentang sesuatu yang tampil dalam media lalu media menangkap sebagai wacana masyarakat dan kembali dikonsumsi oleh masyarakat, begitu seterusnya. Anderson (dalam Brookes,1999) menyatakan bahwa surat kabar memainkan peran kunci pemahaman suatu bangsa dalam kurun waktu dan tempat.
Strategi re-kategorisasi Gaertner, dkk., (2000) bisa saja diterapkan, namun tidak sepenuhnya dengan mengubah kategorisasi kelompok-kelompok yang dalam hal ini adalah etnis di Indonesia. Kategori bersama sebagai Indonesia adalah kategori yang harus dipegang saat prasangka atau konflik timbul di antara dua atau lebih kelompok etnis.

Penutup

Kehidupan berbangsa bukan sesuatu yang mudah apalagi dalam bangsa multikultur, karena itu sikap untuk ‘membiarkan dan semuanya akan berjalan sendiri’ bukan sesuatu yang arif. Kemauan untuk terus belajar menjadi bangsa harus dimiliki seluruh komponen di negeri ini, kemauan ini tidak begitu saja ada, apalagi pada akar rumput, karena itu, pemerintah, lembaga pendidikan, media massa, kelompok sosial dan masyarakat yang beruntung bisa mengenyam pendidikan tinggi mestinya dapat berperan aktif. Penulis berharap tulisan ini bisa menjadi usaha kecil dalam pembelajaran dan pendewasaan bersama sebagai sebuah bangsa, yaitu Indonesia.

Pengkondisian Kekerasan oleh Media Televisi Kita

Akibat meniru adegan dalam tayangan televisi ‘smack down’, seorang anak meninggal dan seorang anak lain mengalami patah tulang. Masyarakat pun mulai bergerak, mendesak agar tayangan tersebut dihentikan guna menghindari jatuhnya korban lagi.
Berhentinya tayangan tersebut bukan berarti televisi kita bersih dari adegan kekerasan. Mulai dari berita hingga program yang dirancang sebagai hiburan seperti film baik dari Asia – Amerika. Kekerasan hampir menjadi menu utama yang disajikan di televisi. Selain berita yang banyak diwarnai oleh tindakan anarkis para demonstran hingga liputan kriminal, televisi kita masih menawarkan tayangan film-film asing yang tidak lepas dari adegan memukul, menendang, adu tembak, hingga darah yang berceceran sebagai hiburan. Seolah, tak ada film lain yang menarik tanpa salah satu adegan tersebut yang patut untuk dihadirkan di ruang keluarga penonton Indonesia.
Tayangan lokal pun tidak mau kalah, dari membentak, mata melotot, menampar dan meneriakkan kata makian menjadi andalan di setiap iklan tayangannya. Coba sesekali sediakan secarik kertas dan pena kala melihat tayangan berita, hitunglah berapa iklan tayangan baik film asing atau sinetron yang menunjukkan adegan kekerasan. Lain waktu, tambahkan kolom untuk juga mencatat berita kekerasan yang ditampilkan. Sungguh menakjubkan, untuk sebuah bangsa yang mengaku dan merasa sebagai bangsa yang ramah dan berbudaya…
Tinjauan & Analisis Tayangan Kekerasan
Secara literatur, beratus studi telah menunjukkan dengan jelas bahwa.. Exposure to media may indeed be one factor contributing to high levels of violence in countries where such materials are viewed by large numbers of persons (e.g., Anderson, 1997; Berkowitz, 1993; Paik & Comstock, 1994; Wood et al, 1991, dalam Baron & Byrne,2000)
Bagaimana media dapat memberikan efek yang tajam dari tayangan kekerasan terhadap penontonnya, setidaknya ada tiga penjelasan yang menarik berikut;
Pertama, media memudahkan orang untuk mempelajari ‘cara-cara baru’ kekerasan yang kemungkinan besar tidak terpikirkan sebelumnya. Disebut juga dengan ‘Copycat crimes’, di mana kekerasan yang bersifat fiksi maupun nyata yang ditayangkan oleh media kemudian ditiru oleh orang lain di tempat lain dengan harapan akan mendapatkan hasil yang serupa.
Kasus anak korban ‘smack down’ menjadi gambaran yang sedang hangat. Terlebih bagi anak-anak, tayangan tersebut bisa memberikan pemahaman yang keliru tentang rasa sakit dan kondisi tubuh manusia. Betapa tidak, tayangan yang menampilkan dua orang yang berbadan kekar saling hantam dengan gaya bebas namun tetap terlihat ‘tidak kesakitan’. Anak akan menganggap bahwa meloncat dan menjatuhkan tubuh di atas tubuh kawannya, misalnya, tidak akan menimbulkan rasa sakit apalagi cacat tubuh bahkan meninggal.
Kedua, de-sensitization effects, berkurang atau hilangnya kepekaan kita terhadap kekerasan itu sendiri. Studi menunjukkan, akibat dari banyaknya menonton tayangan kekerasan, orang tidak lagi mudah merasakan penderitaan atau rasa sakit yang dialami orang lain (Baron, 1974 dalam Baron & Byrne,2000).
Secara biologis, ketika menonton tayangan yang menyakitkan atau kekerasan, aktivitas otak akan bergerak dari ranah bahasa di otak kiri ke otak kanan yang mendominasi proses emosi dan pengkodean gambaran visual. Itu sebabnya menonton memberi dampak emosional yang lebih kuat dari pada membaca. Jika hal ini terlalu banyak, maka kita akan menjadi kebas dan tidak peka lagi dengan kekerasan (Flora, 2004).
Sejak reformasi, televisi kita bisa lebih bebas dalam pemilihan tayangan. Seiring dengan itu, kekerasan pun merebak, berita mulai didominasi dengan tindakan-tindakan anarkis yang tidak jarang bersumber dari sesuatu yang sepele. Masyarakat menjadi sangat mudah disulut api kekerasan. Sayangnya, televisi pun makin getol dengan adegan kekerasan bahkan sebagai hiburan. Coba telusuri program serangkaian film asing yang dijanjikan akan diputar dalam satu bulan, sulit sekali menemukan film keluarga yang bisa menciptakan senyum, tawa, perasaan santai, melepas beban rutinitas dan mendapatkan insight yang positif.
Padahal banyak sekali film yang mengedepankan nilai-nilai kehidupan dari hal kecil seperti perasaan seorang anak di tengah kesibukan orangtua yang disajikan begitu santun, mengelitik, tanpa didominasi teriakan amarah. Mrs. Doubtfire, salah satunya yang sudah berulang kali ditayangkan oleh televisi kita, dan masih banyak lagi yang lain yang semestinya bisa ditampilkan ketimbang film-film yang lebih banyak memamerkan kekerasan. Lebih miris lagi, sinetron-sinetron yang berbungkus nama agama pun diwarnai dengan umpatan, saling pukul dan saling tampar.
Ketiga, periklanan menganggap tayangan kekerasan lebih menjual. Bushman (1998, dalam Baron & Byrne,2000) menemukan hal yang kurang menggembirakan, ternyata orang yang menonton tayangan kekerasan , kemungkinan besar hanya mampu sedikit mengingat isi dari suatu tayangan komersial atau iklan.
Bushman dan Bonacci (2002, dalam Gunter, Furnham & Pappa,2005) semakin menemukan betapa kuatnya pengaruh tayangan kekerasan terhadap penontonnya. Studi mereka menunjukkan bahwa iklan yang tidak menampilkan kekerasan, jika ditayangkan di program televisi yang menayangkan kekerasan, akan sulit diingat dari pada jika ditayangkan di program televisi non-kekerasan. Sebaliknya, iklan yang menampilkan kekerasan akan semakin mudah diingat ketika ditampilkan di program televisi kekerasan. Hal ini dikarenakan tayangan tersebut mendukung dan memudahkan penonton untuk mengingat iklan yang juga berisi adegan kekerasan.
Cukup aneh, bukankah seharusnya periklanan justru mendorong tayangan non kekerasan? Ataukah dengan tidak tertangkapnya isi iklan dengan baik oleh penonton kemudian menjadi nilai tersendiri bagi iklan tersebut? Kemungkinan, iklan akan memetik keuntungan dengan tidak telitinya penonton dan hanya menangkap bagian tertentu dari iklan tersebut. Hal ini sangat menarik untuk dilakukan studi lebih lanjut, termasuk di Indonesia.

Televisi adalah pilihan
Protes dan desakan masyarakat atas kasus ‘smack down’ merupakan hal positif. Tidak perlu dibahas jika hal ini sebagai sesuatu yang terlambat, namun mestinya bisa menjadi stimulus bagi masyarakat untuk mampu mandiri dalam menilai, menyaring serta proaktif terhadap tayangan di televisi. Kepekaan itu harus diciptakan, jangan sampai kelak masyarakat Indonesia benar-benar menjadi tidak sensitif terhadap kekerasan hingga menjadi bangsa Bar-Bar. Masyarakat di sini juga termasuk kalangan perguruan tinggi, asosiasi sosial dan kelompok masyarakat lain di samping individu yang berdiri sendiri. Salah satu dari keindahan reformasi yang harus dioptimalkan dan ditumbuhkan adalah kemandirian masyarakat dalam menyikapi berbagai perkembangan, termasuk tayangan televisi dengan kebebasan pers, sehingga menjadi bangsa yang mandiri dalam berpikir dan bertindak.
Televisi hanyalah sebuah kotak yang bisa dimatikan atau dibuang, bisa sebagai sumber malapetaka atau sumber pengetahuan. Kendali utama mestinya tetap pada pencipta televisi, yakni manusia. Banyaknya bukti dampak tayangan kekerasan hendaknya menjadi informasi tambahan untuk mengkaji ulang perilaku kita dalam menonton televisi. Sudahkah kita menjadikan televisi sebagai pilihan di antara banyak pilihan aktivitas positif lain dalam melepas kepenatan, atau televisi yang menguasai setiap detik kehidupan kita?