Friday, October 26, 2007

Kontak Dalam Masyarakat Multikultur

Indonesia dikenal luas sebagai bangsa yang terdiri dari sekitar 300 suku bangsa dan masing-masing mempunyai identitas kebudayaan sendiri (Bruner,1972; Koentjaraningrat, 1975, dalam Warnaen, 2001). Banyaknya suku bangsa di Indonesia kini telah bertambah satu yakni dengan diakuinya etnis Tionghoa sebagai salah satu etnis di Indonesia. Mungkin sekian tahun ke depan akan ditambah dengan etnis Arab dan India yang juga cukup banyak tinggal di Indonesia.
Yang menggembirakan adalah pengakuan dan pembauran etnis Tionghoa kini lebih terasa nyata. Coba tengok ajang Indonesian Idol, beberapa peserta terlihat jelas dari etnis ini dan mendapat sambutan yang hangat, lalu, sebut saja deretan artis sinetron; Roger Danuarta, Bertrand Antolin atau Olga Lydia, mereka pun menjadi idola remaja Indonesia.
Fenomena lain yang membanggakan dan selayaknya terus dipacu juga munculnya prestasi anak bangsa dari daerah yang dianggap ‘tertinggal’ yaitu Papua. Memenangkan olimpiade fisika tingkat internasional, lomba karya ilmiah remaja tingkat nasional hingga kiprah remaja Papua dalam Indonesian Idol bisa meningkatkan kebangsaan masyarakat Papua sebagai Indonesia. Mengapa? Setidaknya penghargaan dan sambutan masyarakat dari luar Papua untuk bersedia mengirimkan dukungan melalui short message service (sms), atau pengakuan institusi nasional atas prestasi sekelompok remaja Papua bisa menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia tidak mendiskreditkan Papua.
Akhir bulan Agustus ini juga muncul dua macam iklan dari produk susu kental manis yang menghadirkan kontak dengan ‘kesalahpahaman’ bahasa di antara anak kecil Sunda dan Jawa, juga antara anak kecil Melayu dan Batak. Keheranan gadis kecil Jawa mendengar kalimat “Ini ‘teh’, susu...” atau anak suku Melayu mendengar temannya dari suku Batak menolak bahwa susu yang sedang dibuatnya adalah untuk “Tulang” (paman) memancing bisa senyum penonton iklan tersebut sekaligus ‘mengingatkan’ perbedaan yang memang ada.
Beberapa ilustrasi di atas berpotensi menciptakan harmoni dalam kehidupan sosial di Indonesia. Kontak langsung atau tidak langsung yang terjadi antar kelompok etnis bisa jadi merupakan sesuatu yang tak terelakkan dalam kehidupan ini. Sebab, bagaimanapun, kategori sosial adalah sesuatu yang ada, tidak hanya etnis, masyarakat satu etnis pun bisa berhadapan dalam kategori yang berbeda, agama misalnya. Setiap identitas sosial membawa konsekuensi nilai sendiri-sendiri. Seperti dinyatakan oleh Tajfel (1988) bahwa identitas sosial seseorang adalah suatu pemahaman dan keterikatan secara emosi dan nilai terhadap suatu kelompok yang menjadi acuan. Contoh, menguasai bahasa Indonesia menjadi tuntutan yang wajib sebagai orang Indonesia.
Pertanyaannya adalah, apakah kontak akan selalu menciptakan sentimen positif?

Hipotesis Kontak

Allport (1975/1979, dalam Islam dan Hewstone, 2000) mengajukan hipotesis kontak bahwa kontak dengan orang dari kelompok yang tidak disukai, dalam kodisi yang tepat, dapat menumbuhkan rasa suka, saling menghargai atau setidaknya menurunkan prasangka terhadap kelompok lain.
The contact hypothesis (Alport,1954/1979) proposes that contact with persons from a disliked group, under appropriate conditions, leads to the growth of liking and respect for, or at least to decreased prejudice toward, that out-group. (Islam dan Hewstone,2000,h. 383)
Prasangka merupakan reaksi emosional terhadap outgroup yang dipicu oleh persepsi ingroup. Konsep ini juga tidak bisa dilepaskan dari stereotip, yakni seperangkat penilaian dari kelompok lain dalam hubungannya dengan ingroup dalam situasi terkini (Smith, 1999)
Allport menekankan bahwa tidak ada hubungan yang sederhana di antara kontak dan evaluasi out-group, ia juga menyatakan adanya sekelompok faktor yang relevan dan menciptakan apa yang disebut dengan ‘nature of contact’. Faktor-faktor ini mencakup kuantitas kontak dan kualitas kontak (contohnya status dan aspek peran dalam kontak, suasana atau atsmosfir sosial yang hadir di sekitar kontak itu, dan sebagainya) (Islam dan Hewstone,2000). Perkembangan studi bahkan menambahkan adanya efek potensial positif dari kualitas kontak seperti status equal (yang setingkat), suka rela, keakraban dan kotak yang kooperatif (Amir,1969, dalam Islam dan Hewstone,2000).
Namun ternyata studi juga menunjukkan bahwa kontak tidak terlalu efektif untuk mengubah stereotip negatif atau memperbaiki hubungan antar kelompok yang berkonflik. Salah satu penjelasannya adalah adanya intergroup anxiety (kecemasan substansial terkait dengan hubungan antar kelompok) dan hal ini membuat interaksi menjadi kurang menyenangkan (Islam dan Hewstone, 2000)
Kontak yang menyenangkan antara anggota kelompok berbeda yang tidak saling suka, tidak bisa digeneralisir pada tingkat kelompok, sebab hubungan antar kelompok tidak sesederhana hubungan antar pribadi (Islam dan Hewstone,2000). Studi Wilder (2000) menunjukkan bahwa kontak positif antar anggota kelompok yang berbeda dapat digeneralisir ke tingkat evaluasi kelompok hanya ketika terjadi dengan anggota kelompok yang tipikal.
Contact with a person who appeared to be highly typical of the out-group (i.e., matched several stereotypes of out-group members) led to a more favorable evaluation of the out-group than contact with a less typical member. (Wilder,2000,h.379)
Gaertner, Mann, Murrell dan Dovidio (2000) mengajukan dua strategi untuk mengurangi prasangka di antara dua kelompok yang bertikai: (a) re-kategorisasi, yakni mendorong dua kelompok yang bertikai untuk menganggap diri mereka sebagai satu kelompok; (b) de-kategorisasi, yaitu mendorong kedua kelompok menganggap diri mereka sebagai sekumpulan individu.
Meskipun re-kategorisasi kadang bisa berjalan dalam kondisi terkontrol, strategi ini sering memancing backfire (ledakan) dalam kehidupan sosial di masyarakat. Ini terjadi karena re-kategorisasi dapat mengancam kekhasan atau perbedaan yang ada di antara dua kelompok termasuk juga identitas para anggota kelompok. Karena itu, mungkin akan lebih baik untuk membingkai hubungan antar kelompok itu dengan berusaha memperbaiki sikap dan hubungan antar kelompok yang seimbang (Gaertner, dkk.,2000).

Kontak Antar Etnis di Indonesia

Banyak stereotip positif maupun negatif yang tersebar di masyarakat, contohnya adalah “Orang Ambon suaranya bagus-bagus, orang Cina (Tionghoa) dan Padang itu pintar dagang, orang Jawa itu bicaranya pelan atau halus, orang Batak sifatnya keras” dan lain sebagainya. Seperti dinyatakan oleh Smith (1999) di atas bahwa stereotip ini merupakan penilaian atau taksiran suatu kelompok oleh kelompok lain. Karena itu tidak menggambarkan sifat riil kelompok yang dinilai, maka wajar jika ada orang yang terkejut jika menemukan orang Batak yang lemah lembut.
Stereotip ini juga memicu prasangka antar kelompok, misalnya orang Jawa yang memiliki atasan orang Batak bisa merasa sangat cemas jika berbuat kesalahan meski kecil, karena ia berprasangka bahwa atasannya pasti akan marah besar. Stereotip dan prasangka inilah yang ingin diminimalisasikan oleh Allport dengan hipotesis kontaknya. Namun ternyata ada beberapa kondisi yang harus diperhatikan untuk menciptakan kontak positif.
Ilustrasi di awal tulisan bisa menjadi alat untuk mengurangi dan mengubah stereotip yang berkembang dan mengurangi prasangka. Kehadiran etnis Tionghoa di media elektronik dan cetak secara suka rela dan setara dengan etnis lain akan sangat membantu apresiasi masyarakat Indonesia terhadap etnis itu sendiri. Sekali lagi media massa berperan penting dalam mengubah atau membentuk persepsi masyarakat. Inilah yang disebut oleh Moscovici (1988, dalam Liu dan Lawrence, 2001) sebagai representasi sosial, suatu wacana yang secara dinamis dibagi bersama di masyarakat. Menurut Moscovici, individu-individu dalam masyarakat saling berdialog tentang sesuatu yang tampil dalam media lalu media menangkap sebagai wacana masyarakat dan kembali dikonsumsi oleh masyarakat, begitu seterusnya. Anderson (dalam Brookes,1999) menyatakan bahwa surat kabar memainkan peran kunci pemahaman suatu bangsa dalam kurun waktu dan tempat.
Strategi re-kategorisasi Gaertner, dkk., (2000) bisa saja diterapkan, namun tidak sepenuhnya dengan mengubah kategorisasi kelompok-kelompok yang dalam hal ini adalah etnis di Indonesia. Kategori bersama sebagai Indonesia adalah kategori yang harus dipegang saat prasangka atau konflik timbul di antara dua atau lebih kelompok etnis.

Penutup

Kehidupan berbangsa bukan sesuatu yang mudah apalagi dalam bangsa multikultur, karena itu sikap untuk ‘membiarkan dan semuanya akan berjalan sendiri’ bukan sesuatu yang arif. Kemauan untuk terus belajar menjadi bangsa harus dimiliki seluruh komponen di negeri ini, kemauan ini tidak begitu saja ada, apalagi pada akar rumput, karena itu, pemerintah, lembaga pendidikan, media massa, kelompok sosial dan masyarakat yang beruntung bisa mengenyam pendidikan tinggi mestinya dapat berperan aktif. Penulis berharap tulisan ini bisa menjadi usaha kecil dalam pembelajaran dan pendewasaan bersama sebagai sebuah bangsa, yaitu Indonesia.

0 comments: