Friday, October 26, 2007

Pengkondisian Kekerasan oleh Media Televisi Kita

Akibat meniru adegan dalam tayangan televisi ‘smack down’, seorang anak meninggal dan seorang anak lain mengalami patah tulang. Masyarakat pun mulai bergerak, mendesak agar tayangan tersebut dihentikan guna menghindari jatuhnya korban lagi.
Berhentinya tayangan tersebut bukan berarti televisi kita bersih dari adegan kekerasan. Mulai dari berita hingga program yang dirancang sebagai hiburan seperti film baik dari Asia – Amerika. Kekerasan hampir menjadi menu utama yang disajikan di televisi. Selain berita yang banyak diwarnai oleh tindakan anarkis para demonstran hingga liputan kriminal, televisi kita masih menawarkan tayangan film-film asing yang tidak lepas dari adegan memukul, menendang, adu tembak, hingga darah yang berceceran sebagai hiburan. Seolah, tak ada film lain yang menarik tanpa salah satu adegan tersebut yang patut untuk dihadirkan di ruang keluarga penonton Indonesia.
Tayangan lokal pun tidak mau kalah, dari membentak, mata melotot, menampar dan meneriakkan kata makian menjadi andalan di setiap iklan tayangannya. Coba sesekali sediakan secarik kertas dan pena kala melihat tayangan berita, hitunglah berapa iklan tayangan baik film asing atau sinetron yang menunjukkan adegan kekerasan. Lain waktu, tambahkan kolom untuk juga mencatat berita kekerasan yang ditampilkan. Sungguh menakjubkan, untuk sebuah bangsa yang mengaku dan merasa sebagai bangsa yang ramah dan berbudaya…
Tinjauan & Analisis Tayangan Kekerasan
Secara literatur, beratus studi telah menunjukkan dengan jelas bahwa.. Exposure to media may indeed be one factor contributing to high levels of violence in countries where such materials are viewed by large numbers of persons (e.g., Anderson, 1997; Berkowitz, 1993; Paik & Comstock, 1994; Wood et al, 1991, dalam Baron & Byrne,2000)
Bagaimana media dapat memberikan efek yang tajam dari tayangan kekerasan terhadap penontonnya, setidaknya ada tiga penjelasan yang menarik berikut;
Pertama, media memudahkan orang untuk mempelajari ‘cara-cara baru’ kekerasan yang kemungkinan besar tidak terpikirkan sebelumnya. Disebut juga dengan ‘Copycat crimes’, di mana kekerasan yang bersifat fiksi maupun nyata yang ditayangkan oleh media kemudian ditiru oleh orang lain di tempat lain dengan harapan akan mendapatkan hasil yang serupa.
Kasus anak korban ‘smack down’ menjadi gambaran yang sedang hangat. Terlebih bagi anak-anak, tayangan tersebut bisa memberikan pemahaman yang keliru tentang rasa sakit dan kondisi tubuh manusia. Betapa tidak, tayangan yang menampilkan dua orang yang berbadan kekar saling hantam dengan gaya bebas namun tetap terlihat ‘tidak kesakitan’. Anak akan menganggap bahwa meloncat dan menjatuhkan tubuh di atas tubuh kawannya, misalnya, tidak akan menimbulkan rasa sakit apalagi cacat tubuh bahkan meninggal.
Kedua, de-sensitization effects, berkurang atau hilangnya kepekaan kita terhadap kekerasan itu sendiri. Studi menunjukkan, akibat dari banyaknya menonton tayangan kekerasan, orang tidak lagi mudah merasakan penderitaan atau rasa sakit yang dialami orang lain (Baron, 1974 dalam Baron & Byrne,2000).
Secara biologis, ketika menonton tayangan yang menyakitkan atau kekerasan, aktivitas otak akan bergerak dari ranah bahasa di otak kiri ke otak kanan yang mendominasi proses emosi dan pengkodean gambaran visual. Itu sebabnya menonton memberi dampak emosional yang lebih kuat dari pada membaca. Jika hal ini terlalu banyak, maka kita akan menjadi kebas dan tidak peka lagi dengan kekerasan (Flora, 2004).
Sejak reformasi, televisi kita bisa lebih bebas dalam pemilihan tayangan. Seiring dengan itu, kekerasan pun merebak, berita mulai didominasi dengan tindakan-tindakan anarkis yang tidak jarang bersumber dari sesuatu yang sepele. Masyarakat menjadi sangat mudah disulut api kekerasan. Sayangnya, televisi pun makin getol dengan adegan kekerasan bahkan sebagai hiburan. Coba telusuri program serangkaian film asing yang dijanjikan akan diputar dalam satu bulan, sulit sekali menemukan film keluarga yang bisa menciptakan senyum, tawa, perasaan santai, melepas beban rutinitas dan mendapatkan insight yang positif.
Padahal banyak sekali film yang mengedepankan nilai-nilai kehidupan dari hal kecil seperti perasaan seorang anak di tengah kesibukan orangtua yang disajikan begitu santun, mengelitik, tanpa didominasi teriakan amarah. Mrs. Doubtfire, salah satunya yang sudah berulang kali ditayangkan oleh televisi kita, dan masih banyak lagi yang lain yang semestinya bisa ditampilkan ketimbang film-film yang lebih banyak memamerkan kekerasan. Lebih miris lagi, sinetron-sinetron yang berbungkus nama agama pun diwarnai dengan umpatan, saling pukul dan saling tampar.
Ketiga, periklanan menganggap tayangan kekerasan lebih menjual. Bushman (1998, dalam Baron & Byrne,2000) menemukan hal yang kurang menggembirakan, ternyata orang yang menonton tayangan kekerasan , kemungkinan besar hanya mampu sedikit mengingat isi dari suatu tayangan komersial atau iklan.
Bushman dan Bonacci (2002, dalam Gunter, Furnham & Pappa,2005) semakin menemukan betapa kuatnya pengaruh tayangan kekerasan terhadap penontonnya. Studi mereka menunjukkan bahwa iklan yang tidak menampilkan kekerasan, jika ditayangkan di program televisi yang menayangkan kekerasan, akan sulit diingat dari pada jika ditayangkan di program televisi non-kekerasan. Sebaliknya, iklan yang menampilkan kekerasan akan semakin mudah diingat ketika ditampilkan di program televisi kekerasan. Hal ini dikarenakan tayangan tersebut mendukung dan memudahkan penonton untuk mengingat iklan yang juga berisi adegan kekerasan.
Cukup aneh, bukankah seharusnya periklanan justru mendorong tayangan non kekerasan? Ataukah dengan tidak tertangkapnya isi iklan dengan baik oleh penonton kemudian menjadi nilai tersendiri bagi iklan tersebut? Kemungkinan, iklan akan memetik keuntungan dengan tidak telitinya penonton dan hanya menangkap bagian tertentu dari iklan tersebut. Hal ini sangat menarik untuk dilakukan studi lebih lanjut, termasuk di Indonesia.

Televisi adalah pilihan
Protes dan desakan masyarakat atas kasus ‘smack down’ merupakan hal positif. Tidak perlu dibahas jika hal ini sebagai sesuatu yang terlambat, namun mestinya bisa menjadi stimulus bagi masyarakat untuk mampu mandiri dalam menilai, menyaring serta proaktif terhadap tayangan di televisi. Kepekaan itu harus diciptakan, jangan sampai kelak masyarakat Indonesia benar-benar menjadi tidak sensitif terhadap kekerasan hingga menjadi bangsa Bar-Bar. Masyarakat di sini juga termasuk kalangan perguruan tinggi, asosiasi sosial dan kelompok masyarakat lain di samping individu yang berdiri sendiri. Salah satu dari keindahan reformasi yang harus dioptimalkan dan ditumbuhkan adalah kemandirian masyarakat dalam menyikapi berbagai perkembangan, termasuk tayangan televisi dengan kebebasan pers, sehingga menjadi bangsa yang mandiri dalam berpikir dan bertindak.
Televisi hanyalah sebuah kotak yang bisa dimatikan atau dibuang, bisa sebagai sumber malapetaka atau sumber pengetahuan. Kendali utama mestinya tetap pada pencipta televisi, yakni manusia. Banyaknya bukti dampak tayangan kekerasan hendaknya menjadi informasi tambahan untuk mengkaji ulang perilaku kita dalam menonton televisi. Sudahkah kita menjadikan televisi sebagai pilihan di antara banyak pilihan aktivitas positif lain dalam melepas kepenatan, atau televisi yang menguasai setiap detik kehidupan kita?

0 comments: